PARAPLEGI
1. Paraplegi
merupakan Kehilangan gerak pada ekstrimitas bawah disebabkan adanya lesi di
medulla spinali dimana hal tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan
ekstremitas gerak.
Epidemiologi Paraplegia
Data epidemiologi dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian cidera medulla spinalis sekitar 11,5-53,4 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Penyebab Paraplegia
1. Cedera medulla spinalis. Akibat kecelakaan
2. Kista / tumor, siringomielina, meningioma, sarcoma, tumor metastase
3. Infeksi : spondilitis tuberkulosa, meningitis, herpes zoster.
4. Kelainan tulang vertebrae : kolaps tulang belakang yang terjadi karena pengeroposan tulang akibat kanker, osteoporosis atau cedera yang hebat.
Arthritis degenerative adalah terbentuknya penonjolan tulang yang tidak beraturan atau taji tulang yang bisa menekan akar saraf.
5. Hematoma spinalis
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi :
·
Kejang ditimbulkan dari ketidakseimbangan antara
fasilitas dan hambatan yang mempengaruhi neuron keluar dengan normal. Daerah
distal medulla yang mengalami cedera dan lesi menyebabkan terjadinya gangguan
penghubung dari lokasi pusat hambatan yang lebih tinggi di otak. Infeksi dan sepsis dari berbagai sumber meliputi
: saluran kemih, saluran pernapasan, dekubitus.
Perbedaan Kuadriplegi, Paraplegia,
Tetraplegia, paralisis dan parese
·
Kuadriplegik mengacu pada kehilangan gerakan dan
sensasi pada keempat ekstrimitas dan badan yang dikaitkan dengan cedera pada
medulla spinalis servikalis.
·
Paraplegia mengacu pada kehilangan gerak dan
sensasi pada ekstrimitas bawah dam semua atau sebagian badan sebagai akibat
cedera pada torakal, medulla spinalis lumbal atau pada radiks sacral.
·
Paralysis merupakan hilangnya kekuatan untuk memindahkan
bagian tubuh berhubungan dengan injury atau penyakit pada saraf yan mengatur
otot dalam melakukan perpindahan atau pergerakan pada tubuh. Masalahnya
terletak pada saraf yang mengatur otot.
Tingkat
keparahan paralisis dibagi menjadi 2 :
Plegia : kehilangan kekuatan,
benar-benar paralisis
Paresis : kelemahannya yang berarti
pada otot yang terkena
Macam-macam
kelumpuhan :
Monoplegia/monoparesis
Hemiplegia/hemiparesis
Paraplegi/paraparesis à
kerusakan torakal, lumbal, sakral
Tetraplegi/tetraparesis =
quadripleg/paresis = diplegia pada kerusakan servical
·
Paraparese
adalah kelemahan tonus otot pada ekstrimitas bawah
·
Tetraparese
adalah kelemahan tonus otot melibatkan salah satu segmen servikal medulla
spinalis dengan disfungsi kedua lengan dan
kedua kak
Temuan fisik pada penderita plegia atau kelumpuhan akan bervariasi,
tergantung pada tingkat cidera, derajat syok spinal dan fase serta derajat
pemeriksaan :
C1-C3 : kehilangan fungsi
pernafasan/ system muskuloskeleta
C4-C5: dengan kerusakan menurunnya
kapasitas paru ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari
C6-C7 : dengan beberapa erakn
tangan dan lengan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari
C8 : keterbatasan menggunakan jari
tangan. Meningkatkan kemandiriannya
C1-L1 : paraplegia dengan fungsi
tangan dan berbagai fungsi. otot
intercosta dan abdomen masih baik.
L1-L2 dan atau dibawahnya : kehilangan fungsi motorik dan sensorik. Kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih
Pemeriksaan Penunjang &
Diagnostik
Penatalaksanaan cedera medula spinalis fase akut :
1. Hipotermia
Penyebaran hipotermia ke dareah cedera untuk mengatasi kekuata autodestruktif
2. Tindakan pernafasan
Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi.
Anoksemia dapat menimbulkan atau memperburuk defisit neurologik
3. Traksi dan reduksi skelet
Immobilisasi, reduksi dislokasi dan stabilisasi kolum vertebra
4. Farmakoterapi
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi
5. Intervensi bedah
Pembedahan diindikasi bila :
Deformitas pasien tidak dapat dikurangi dengan traksi tidak ada kestabilan tulang servikal
Cedera terjadi pada daerah toraks atau lumbal
Status neurologik pasien memburuk
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma
Elektromyograpi test (EMG) adanya
perubahan gambaran EKG dapat membntu menentukan lokasi lesi, apakah di sel
kornu anterior, saraf perifer atau di ototnya sndiri. Serum Elwktrolit terutama
kalium dan kalsium. Kadar kalium yg kurang akan meninggikan kepekaan motor end
plate (komponen LMN) shg titik depolarisasi menjd tinggi dan muatan listrik
sukar dilepaskan. Dalam keadaan ini serabut otot tidak dpt dikontraksikan,
sehingga otot menjadi paralisis( lumpuh). Bila kekurangan kalsium akan
merendahkan ambang lepas muatan motor end plate dan serabut otot mudah
terstimulasi. Shg otot akan berkonstraksi terus menerus (tetani)
Biomekanika Biomekanika trauma
utama di segmen thorakal medula spinalis adalah akibat hiperfleksi, sementara
fleksi dan hiperekstensi merupakan gambaran utama cedera di segmen servikal
medula spinalis
Macam RP dan RF
1.
Refleks
Patologis
Pada
kelumpuhan lower motor neuron (LMN) tidak menunjukkan reflek
patologis sedangkan pada kelumpuhan Upper
Motor Neuronmenunjukkan refleks patologis.
a. Reflek Superficial
1. Reflek Kulit Dinding Perut
Kulit
dinding perut digores dengan ujung gagang palu refleks atau ujung kunci.
Refleks kulit dinding perut menghilang pada lesi piramidalis. Hilangnya refleks
ini yang berkombinasi dengan meningkatnya refleks otot dinding perut adalah
khas bagi lesi di susunan piramidal.
2. Reflek Kremaster dan Reflek Skrotal
Penggoresan
dengan pensil, ujung gagang palu refleks atau ujung kunci terhadap kulit bagian
medial akan dijawab dengan elevasi testis ipsilateral. Refleks kremaster
menghilang pada lesi di segmen L I – II, juga pada usia lanjut.
3. Reflek Gluteal
Refleks
ini terdiri dari gerakan reflektorik otot gluteus ipilateral bilamana digores
atau ditusuk dengan jarum atau ujung gagang palu refleks. Refleks gluteal
menghilang jika terdapat lesi di segmen L IV – S I.
4. Reflek Anal Eksterna
Refleks
ini dibangkitkan dengan jalan penggoresan atau ketukan terhadap kulit atau
mukosa daerah perianal.
5. Reflek Plantar
Penggoresan
terhadap kulit telapak kaki akan menimbulkan ekstansi serta pengembangan jari –
jari kaki dan elevasi ibu jari kaki.
b. Reflek Patologik
Reflek
patologik yang sering diperiksa di dalam klinik ialah “Ekstensor Plantar
Response” atau tanda Babinski.
Metode-metode
Perangsangan :
1. Refleks Chaddock
Penggoresan
terhadap kulit dorsum pedis pada bagian lateralnya atau penggoresan terhadap
kulit di sekitar malcolus eksterna.
2. Refleks Oppenheim
Pengurutan
dari proksimal ke distal secara keras dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan
terhadap kulit yang menutupi os. telunjuk dan ibu jari tangan terhadap kulit
yang menutupi os. tibia atau pengurutan itu dilakukan dengan menggunakan sensi
interfalangeal jari telunjuk dan jari tengah dari tangan yang mengepal.
3. Refleks Gordon
Cara
membangkitkan Ekstensor
Plantar Response ialah dengan
menekan betis secara keras.
4. Refleks Scaeffer
Cara
membangkitkan respon tersebut adalah dengan menekan tendon Achilles secara
keras.
5. Refleks Gonda
Respon
patologik tersebut diatas timbul pada penekukan (plantar fleksi) maksimal dari
jari kaki keempat.
6. Refleks Bing
Dibangkitkan
dengan memberikan rangsangan tusuk pada kulit yang menutupi metatarsal kelima.
2.
Refleks
Fisiologi
·
Reflex kulit perut : kontraksi dinding otot
perut
·
Reflek kornea : kedipan mata secara cepat
·
Reflek cahaya : kontraksi pupil (hololateral
dank onlateral)
·
Reflek periost radialis : fleksi lengan bawah
pada siku dan supinasi
·
Reflek periost urinaris : pronasi tangan
·
Stretch reflek (muscle spindle reflek)
a.
Knee pess reflek : ekstensi tungkai disertai kontraksi
otot quadrisep
b.
Achilles pess reflek : plantar fleksi pada siku dan
kntraksi gastronemus
c.
Reflek biseps : fleksi lengan pada siku dan kontraksi
otot bisep
d.
Reflek trisep : ekstensi lengan dan kontraksi otot
trisep
ASKEP
A.
Kekuatan Otot
No
|
Tingkat Fungsi Otot
|
Skala
|
||
Nilai
|
% Normal
|
Skala Lovett
|
||
1
|
Tidak ada bukti kontraktilitas
|
0
|
0
|
0 (nol)
|
2
|
Sedikit kontrakilitas, tidak ada gerakan
|
1
|
10
|
T (Trace/sedikit)
|
3
|
Rentang gerak penuh, gravitasi tidak ada (pasif)
|
2
|
25
|
P (Poor/buruk)
|
4
|
Rentang gerak penuh dengan gravitasi
|
3
|
50
|
F (Fair/sedang)
|
5
|
Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, beberapa
retensi
|
4
|
75
|
G (Good/baik)
|
6
|
Rentang gerak penuh , melawan gravitasi, retensi
penuh
|
5
|
100
|
N (Normal)
|
B.
Sistem neurologis
No
|
Kategori Pengkajian
|
Rasional
|
1
|
Tentukan apakah klien menonsumsi analgesic,
antipsikotik,antidepresan,stimulant serabut saraf
|
Obat-obatan ttersebut dapat mempengaruhi tingkat
perubahan perilaku
|
2
|
Kaji apakah klien menggunakan alkohol.hipnotik
sedative
|
Penyalahgunaan dapat menyebabkan tremor, aaksia dan perubahan
fungsi saraf perifer
|
C.
Pengkajian psikososial
-
Mendengarkan kekuatiran yang diungkapkan
-
Mengalami keadaan ini pada fase adaptasi à
grieving process, penyangkalan, marah, menawar, depresi, menerima
D.
Inspeksi
-
Inspeksi pada semua daerah kulit à
kemerahan /kerusakan kritis
-
Pengembangan program defekasi dan berkemih
Diagnosa Keperawatan
1. pola nafas tidak efektive berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot abdominal dan intercostal serta ketidak mampuan membersihkan sekresi.
2. kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan sensorik dan motorik
3. resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensorik dan mobilitas.
4. gangguan eliminasi urin : retensio urin berhubungan dengan ketidak mampuan berkemih spontan
5. gangguan eliminasi BAB berhubungan dengan atonik kolon
1. pola nafas tidak efektive berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot abdominal dan intercostal serta ketidak mampuan membersihkan sekresi.
2. kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan sensorik dan motorik
3. resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensorik dan mobilitas.
4. gangguan eliminasi urin : retensio urin berhubungan dengan ketidak mampuan berkemih spontan
5. gangguan eliminasi BAB berhubungan dengan atonik kolon
NIC :
1.
Meningkatkan mobilitas
·
Aktivitas Pembebanan benda berat akan membuat
otot makin cepat kuat, sehingga makin sedikit kemungkinan terjadi atrofi. Makin
dini pasien diposisikan berdiri,maskin kecil kesempoatan adanya perubahan
osteoporitik yang terjadi pada tulang panjang.
·
Program latihan pada bagian bagian tubuh yang
tidak terkena untuk mengoptimalkan kekuatan dan meningkatkan perawatan diri
yang maksimal, misal dengan push-up dengan posisi telengkup dan sit-u bila
posisi duduk.
·
Mobilisasi bisa dengan mengembangkan kursi roda
yang menggunakan mesin motor dan khusus dilengkapi dengan mobil gerbong, yang
berkontribusi terhadap kemandirian pasien yang tinggi.
Meningkatkan Integritas Kulit. Faktor-faktor yang
berkontribusi antara lain kehilangan sensori permanen terhadap daerah tekan,
imobilisasi yang membuat kesukaran dalam menurunkan tekanan, trauma akibat
benturan ( terhadap kursi rodam toilet), kehilangan fungsi pertahanan pada
kulit karena ekskoriasi kulit akibat inkontinensia urin dan fekal. Aktivitasnya
meliputi ;
·
Pasien diminta meminta memantau status kulitnya
sendiri di pagi dan malam hari
·
Melakukan perubahan posisi setiap 2 jam
·
Diet tinggi protein, vitamin dan kalori untuk
menjamin kebutuhan otot minimal dan mempertahankan kesehatan kulit
3.
Memperbaiki penatalaksanaan berkemih, dengan :
·
Perawat menekankan pentingnya mempertahankan
aliran urin yang adekuat melalui pemberian asupan cairan sekitar 2,5 liter setiap
hari
·
Melakukan perawatan perinial
·
Pemasangan dan perawatan kateter secara maksimal
4.
Menetapkan Kontrol defekasi
Teknik ini
dipertimbangkan dalamcedera medulla spinalis di bagian atas segmen sacral atau
akar saraf dan disana terdapat aktivitas reflex, maka sfingter anus dapat
dipijat untuk menstimulasi defekasiyang dilakukan setiap 48 jam setelah makan
5.
Mekanisme Koping dengan :
·
Peran perawat dalam meyakinkan kemapuan mereka
terhadap pencapaian perawatan diri yang mandiri
·
Memberikan konseling keluarga terkait dukungan
social pada pasien
6.
Mengatasi Komplikasi
·
Kejang otot dapat diatasi dengan pemberan obat
antispasodik. Selain itu bisa dengan latihan ROM pasif dan sering mengubah
posisi yang akan mencegah terjadinya kontraktur dan dekubitus
·
Infeksi dapat diterapi dengan antibiotic yang
adekuat .
Klasifikasi Cedera Medulla Spinalis
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.Terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis yaitu : inkomplet menurut American Spinal
Cord Injury Association yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior Cord
Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan (5) Conus
Medullaris Syndrome. Lee menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet yang
sangat jarang terjadi yaitu Posterior
Cord Syndrome. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan
vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord
Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis
traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen
di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian besar kasus Central Cord
Syndrome menunjukkan hipoisointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang
mengindikasikan adanya edema Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah
kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah.
Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada
ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas
neurologik permanen.
Kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron)
umumnya melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparesis, hemiplegia atau
hemiparalisis. Istilah paralisis atau
plegia merujuk pada kehilangan total kontraktilitas otot. Sedangkan
kehilangan kontraktilitas yang tidak total disebut paresis. Hemiplegia adalah
kelumpuhan pada salah satu lengan dan kaki pada sisi yang sama. Di batang otak,
daerah susunan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7, dan
ke-12, sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi
mengakibatkan hemiplegia yang melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan
hemiplegia alternans. Sebagai contoh pada pupil yang melebar unilateral dan
tidak bereaksi, menunjukkan adanya tekanan pada saraf ke-3. Lesi pada satu sisi
atau hemilesi yang sering terjadi di otak jarang dijumpai pada medula spinalis,
sehingga kelumpuhan UMN akibat lesi di medula spinalis umumnya berupa
tetraplegia atau paraplegia. Lesi pada korda spinalis dapat komplit atau
inkomplit. Lesi komplit, mempengaruhi semua bagian dari korda pada satu tingkat
tertentu, sehingga mengakibatkan:
- paralisis UMN bilateral dari bagian tubuh di bawah tingkat lesi
- kehilangan modalitas sensasi bilateral di bawah tingkat lesi
- kehilangan fungsi kandung kemih, pencernaan, dan seksual secara total.
Yang lebih sering terjadi adalah lesi inkomplit, yang dapat terjadi dalam
2 kondisi. Lesi mempengaruhi seluruh bagian korda dalam satu tingkat, tetapi tidak
menghentikan secara total fungsi traktus asendens dan desendens.