Kamis, 04 Oktober 2012

SKIZOFRENIA



askep skizofrenia 
Patofisiologi
Patofisiologi skizofrenia melibatkan sistem dopaminergik dan serotonergik. Skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia :
a.       Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas sistem dopaminergik
b.      Hiperdopaminegia pada sistem meso limbikà berkaitan dengan gejala p[osistif
c.       Hipodopaminergia pada sistem meso kortis dan nigrostriatalà bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal.
Jalur dopaminergik saraf :
a.       Jalur nigrostriatal : dari substansia nigra ke basal gangliaà fungsi gerakan, EPS
b.      Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik à memori, sikap, kesadaran, proses stimulus.
c.       Jalur mesokortikal : dari tegmental area menuju ke frontal cortex à kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress.
d.      Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitary à pelepasan prolaktin.
Terdiri dari 3 fase :
a.       Premorbid : semua fungsi masih normal
b.      Prodomal : simptom psikotik mulai nyata (isolasi sosial, ansietas, gangguan tidur, curiga). Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi- fungsi mendasar ( pekerjaan dan rekreasi) dan muncul symptom nonspesifik seperti gangguan tidur, ansietas, konsentrasi berkurang, dan deficit perilaku. Simptom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati menjadi fase psikosis.
c.       Psikosis :
·       Fase Akut : dijumapi gambaran psikotik yang jelas, misalnya waham, halusinasi, gangguan proses piker, pikiran kacau. Simptom negative menjadi lebih parah sampai tak bisa mengurus diri. Berlangsung 4 – 8 minggu
·                   Stabilisasi : 6 – 18 bulan
·                   Stabil : terlihat residual, berlangsung 2- 6 bulan
Gejala skizofrenia:
a.       Gejala positif
- Delusi/waham, yaitu keyakinan yang tidak masuk akal. Contohnya berpikir bahwa dia selalu diawasi lewat televisi, berkeyakinan bahwa dia orang terkenal,
berkeyakinan bahwa radio atau televisi memberi pesan-pesan tertentu, memiliki keyakinan agama yang berlebihan.
- Halusinasi, yaitu mendengar, melihat, merasakan, mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sebagian penderita, mendengar suara/ bisikan bersifat menghibur atau tidak menakutkan. Sedangkan yanng lainnya mungkin menganggap suara/bisikan tersebut bersifat negatif/ buruk atau memberikan perintah tertentu.
- Pikiran paranoid, yaitu kecurigaan yang berlebihan. Contohnya merasa ada seseorang yang berkomplot melawan, mencoba mencelakai atau mengikuti, percaya ada makhluk asing yang mengikuti dan yakin dirinya diculik/ dibawa ke planet lain.
b. Gejala negatif
- Motivasi rendah (low motivation). Penderita akan kehilangan ketertarikan pada semua aspek kehidupan. Energinya terkuras sehingga mengalami kesulitan melakukan hal-hal biasa dilakukan, misalnya bangun tidur dan membersihkan rumah.
- Menarik diri dari masyarakat (social withdrawal). Penderita akan kehilangan ketertarikan untuk berteman, lebih suka menghabiskan waktu sendirian dan merasa terisolasi.
c.  Gejala kognitif
- Mengalami problema dengan perhatian dan ingatan. Pikiran mudah kacau sehingga tidak bisa mendengarka n musik/ menonton televisi lebih dari beberapa menit. sulit mengingat sesuatu, seperti daftar belanjaan.
- Tidak dapat berkosentrasi, sehingga sulit membaca, menonton televisi dari awal hingga selesai, sulit mengingat/ mempelajari sesuatu yang baru.
- Miskin perbendaharaan kata dan proses berpikir yang lambat. Misalnya saat mengatakan sesuatu dan lupa apa yang telah diucapkan, perlu usaha keras untuk melakukannya.
Gejala skizofrenia juga dibagi menjadi 5 gejala :
a.       Gejala positif
b.      Gejala negative
c.       Gejala kognitif
d.      gejala alam perasaan
e.       disfungsi sosial/ okupasional
2.      Prinsip perawatan halusinasi
a.       Bantu pasien mengenal halusinasi :
·                   Bina hubungan saling percaya
·                   Diskusikan kapan muncul situasi yang menyebabkan, isi dan frekuensi
b.      Meningkatkan kontak dengan realita :
·                   Bicara tentang topik yang nyata dan tidak mengikuti halusinasi
·                   Bicara dengan klien secra sering dan singkat
·                   Buat jadwal kegiatan sehari – hari untuk menghindari kesendirian
·                   Ajak bicara jika klien tampak berhalusinasi
c.       Bantu menurunkan kecemasan dan ketakuatan :
·                   Temani, cegah isolasi dan menarik diri
·                   Terima halusinasi klien tanpa mendukung dan menyalahkan
·                   Beri kesempatan untuk mengungkapkan
·                   Tetap hangat, empati, kalem dan lemah lembut
d.      Meningkatkan harga diri pasien :
·                   Identifikasi kemampuan klien dan beri kegiatan yang sesuai
·                   Beri kesempatan sukses dan beri pujian atas kesuksesan klien
·                   Dorong berespon pada situasi nyata
e.       Mencegah klien melukai diri sendiri dan orang lain :
·                   Lakukan perlindungan
·                   Kontak yang sering secara personal
f.       Ajarkan program pengobatan secara optimal
g.      Menciptakan lingkungan yang terapeutik
h.      Melaksanakan program terapi
i.        Memberikan aktivitas
j.        Libatkan keluarga
Dalam jurnal review yang berjudul Making Sense of The Voice oleh Richard Lakeman menyebutkan bahwa pendampingan perawat lebik baik daripada hanya pemberian obat. Perawat perlu mengetahui faktor predisposisi dan presipitasi halusinasi serta menjaga mood pasien.

3.      Penatalaksanaan skizofrenia dan halusinasi
a)      Terapi Somatik (Medikamentosa)
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu :
·         Antipsikotik Konvensional merupakan obat antipsikotik yang paling lama penggunannya. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain :
1. Haldol (haloperidol)            5. Stelazine ( trifluoperazine)
2. Mellaril (thioridazine)           6. Thorazine ( chlorpromazine)
3. Navane (thiothixene)           7. Trilafon (perphenazine)
4. Prolixin (fluphenazine)
·         Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional.
Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :
· Risperdal (risperidone)
· Seroquel (quetiapine)
· Zyprexa (olanzopine)
·         Clozaril
Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Namun, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Oleh karena itu, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
Cara penggunaan
a.       Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
b.      Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama.
c.       Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
d.      Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
o Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
o Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
o Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu
kualitas hidup pasien
e.       Mulai dosis awal dengan dosis anjuran, dinaikkan setiap 2-3 hari, sampai mencapai dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis), dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan, dosis optimal, dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi), diturunkan setiap 2 minggu, dosis maintanance, dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu), tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu), stop.
f.       Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu:
gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM dan tablet trihexypenidil)

b)      Terapi Psikososial
·         Terapi perilaku dengan menggunakan hadiah dan latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif didorong dengan pujian. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.
·         Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.
·         Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia.
·         Psikoterapi individual
Penelitian tentang efek psikoterapi individual dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi individual  membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Peran tenaga medis antara lain dengan perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan. Namun kehangatan yang berlebihan tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi.
·         program rehabilitasi : living skills, social skills, basic education, work program,supported housing
Sasaran terapi: bervariasi, berdasarkan fase dan keparahan penyakit
·         Pada fase akut : mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi
·         Pada fase stabilisasi: mengurangi resiko kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat
c)      Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Elektro Konvulsif Terapi (ECT). Terapi ini diperkenalkan oleh Ugo cerleti(1887-1963). Frekuensi dilakukannya terapi ini tergantung dari keadaan penderita dapat diberi:
· 2-4 hari berturut - turut 1-2 kali sehari
· 2-3 kali seminggu pada keadaan yang lebih ringan
· Maintenance tiap 2-4 minggu
· Dahulu sebelum jaman psikotropik dilakukan 12-20 kali tetapi sekarang tidak dianut lagi.
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau tidak adanya perbaikan setelah pemberian antipsikotik.
Kontra indikasi Elektro konvulsiv terapi adalah Dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah tumor otak.
d)     Terapi koma insulin pada skizofrenia paranoid dan katatonik.
e)      Penatalaksanaan relapse
Penyebab: tidak patuh dalam pengobatan, dosis obat, psikososial (masalah di rumah, akses pelayanan kesehatan), penyalahgunaan alkohol dan obat.
Pasien menolak secara aktif / pasif dengan menyimpan, membuang obat dan ragu saat menerima obat karena : keparahan penyakit, efek samping yang menganggu, kurangnya dukungan, ikatan terapeutik yang buruk, masalah keuangan.
Penanganan : keterlibatan dengan keluarga dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya, menepati jadwal pertemuan sebelumnya.
f)       Kombinasi obat tipikal dan atipikal
Sebelum mendapat obat anti psikotik yang tepat, pasien mencoba beberapa jenis obat antipsikotik. Dari dosis rendah sampai dosis optimal. Kalau tidak mendapatkan kecocokan maka dilakukan kombinasi obat antipsikotik. Sebagai contoh antipsikotik konvensional dengan atipikal, dan lain – lain.
g)      Terapi efek samping :
·         Benzodiazepin digunakan pada fase akut untuk mengatasi agitasi, insomnia, kecemasan, akatisia.
·         Beta blocker untuk mengatasi akatisia
·         Antidepresan untuk mengatasi gejala – gejala depresif
·         Antikholinergik untuk mengatasi efek samping karena antipsikotik. Mengatasi gejala psikotik yang refrakter, komorbid / gejala non psikotik seperti agitasi, kecemasan dan depresi.
·         Lithium untuk menstabilkan mood dan mengurangi kegelisahan
·         Valproate dan Carbamazepine untuk meningkatkan mood dan membantu menurunkan agitasi persisten

4.      Epidemiologi skizofrenia di indonesia
Prevalensi penderita skizoprenia di dunia sekitar 0,2 – 2 % populasi. Insidensi di dunia sebanyak 3/10.000. Prevalensi di indonesia 1 – 2 %. Mula terjadinya biasanya pada masa akhir remaja atau awal dewasa, jarang terjadi pada sebelum remaja atau setelah umur 40 tahun. Angka kejadian pada wanita sama dengan pria, tetapi onset pada pria umumnya lebih awal (: 15-24 th; : 25-35 th) lebih banyak gangguan kognitif dan outcome yang lebih jelek daripada wanita. Prevalensinya 8 x lebih besar pada tingkat sosial ekonomi rendah daripada tinggi.
Data di RS Sardjito tahun 2006 menyebutkan pasien skizofrenia sebanyak 273 orang dengan jumlah rata- rata setiap bulan 13 orang. Sekitar 80% penderita skizofrenia akan mengalami perjalan penyakit kronis dan berisiko untuk kambuh. Pasien skizofrenia, psikosis maupun gangguan mental berat yang gagal dalam mematuhi program pengobatan sebanyak 25%.

5.      Skrining skizofrenia
a.       skrining skizofrenia :
·                   menemukan kepribadian
·                   pengukuran behavioral
·                   pengukuran fisiologis dengan neurometris
·                   brain activity
b.      pencegahan :
·         Organobiologis : orang normal tidak menikah dengan orang dengan riwayat skizofrenia.
·         Psikoreligius : pendidikan agama yang baik pada anak
·         Psikososial: membentuk kehidupan keluarga yang harmonis
·         Psikoedukasi : orangtua menjadi contoh yang baik untuk anaknya

6.      Cara anamnesa dan penegakan diagnosis
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a)        - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kulitasnya berbeda; atau
- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar masuk kedalam pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
(b)        - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dati luar; atau
- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

7.      Askep
a.       Pengkajian
1)   Faktor predisposisi : faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
(a)    Faktor biologis, contoh : abnormalitas menyebabkan respon maladaptif (lesi pada area limbik)
(b)   Faktor psikologis : teori psikodinamika menggambarkan bahwa halusinasi terjadi karena isi alam tidak sadar yang masuk alam sadar sebagai suara respon terhadap konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga halusinasi merupakan gambaran dan rangsanagn keinginan dan ketakutan gangguan dialami klien.
(c)    Faktor sosial budaya : stress yang bertumpuk
2)   Faktor presipitasi, bisa berasal dari diri sendiri, lingkungan/interaksi dengan orang lain.
(a)    Biologis, stresor biologi yang berhubungan dengan respon neurobiologi yang maladaptif.
(b)   Stresor lingkungan : gangguan perilaku
3)   Data demografi : nama, usia, jenis kelamin, alamat rumah, pekerjaan, status pernikahan
4)    Riwayat penyakit sekarang : keluhan utama, alasan masuk RS
5)    Riwayat penyakit masa lalu : kejang, trauma kepala, infeksi
6)    Riwayat keluarga : anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

b.      Diagnosa keperawatan
1)      Gangguan persepsi sensori
Definisi : keadaan seorang individu yang mengalami suatu perubahan pada jumlah atau pola stimulus yang diterima, diikuti dengan suatu respons terhadap stimulus tersebut yang dihilangkan, dilebihakan, disampingkan, atau dirusakkan.
Batasan karateristik :
·         Distorsi pendengaran
·         Perubahan pola komunikasi :teriak – teriak, komat kamit, bicara sendiri
·         Perubahan pola perilaku : mondar mandir, keluyuran
·         Halusinasi
·         Gelisah
Faktor yang berhubungan :
·                   Ketidakseimbangan biokimia untuk distorsi sensori : halusinasi
·                   Perubahan persepsi sensori
NOC :
·                   Kemampuan kognitif : kemampuan untuk menghilangkan proses mental yang kompleks
·                   Pengendalian distorsi pikir : kemampuan menhan diri dari gangguan persepsi, proses pikir dan isi pikir.
·                   Penghematan energi : tingkat pengelolaan energi secra aktif untuk melakukan dan mempertahankan aktivitas.
2)      Impaired memory
3)      Hambatan komunikasi verbal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar